Kebiasaan bermain gawai yang sudah menjamur menjadi salah satu faktor fenomena kemalasan membaca
Fakta
bahwa Indonesia memiliki
minat literasi yang rendah sudah tidak asing terdengar di telinga masyarakat. Fakta ini dibuktikan dengan
rendahnya peringkat Indonesia dalam daftar Program
for International Student Assessment (PISA). Indonesia masuk
dalam daftar 10 negara yang memiliki minat
literasi terendah. Rendahnya
minat baca ini juga sudah sering dibuktikan di berbagai jurnal
ilmiah yang dibuat oleh peneliti-peneliti dari segala
kalangan. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan harus segera
dihempaskan dari permukaan.
Kebiasaan bermain gawai yang sudah
menjamur menjadi salah satu faktor fenomena kemalasan membaca. Karya tulis atau literatur sudah dengan mudahnya
tergantikan oleh gawai yang lebih menarik perhatian kalangan muda. Tak dapat
dimungkiri bahwa generasi masa kini saat ini lebih memilih menghabiskan waktu bersama smartphone-nya dibandingkan dengan karya tulis atau bacaan
yang lain. Padahal
jika diusut asal usulnya, gawai dan buku adalah objek yang memiliki
fungsi berbeda.
Dalam keseharian kita, “malas membaca”
sebenarnya dapat dilihat secara kasat mata. Sebagai contoh, waktu-waktu luang yang diberikan
oleh guru kelas seringnya tidak dimanfaatkan untuk membaca,
tetapi dimanfaatkan untuk bermain game atau sekedar mengunggah konten di media
sosial. Ketika guru menerangkan
materi, siswa tidak mendengarkan penjelasan dan memilih untuk membuka gawainya ditengah kegiatan belajar
mengajar. Selain itu, keluhan juga sering terucap dari mulut siswa ketika mereka diminta untuk membaca teks
panjang atau bacaan yang berbobot. Setelah diingatkan, siswa seringkali tetap mengulang hal yang sama setiap saat.
Literasi dianggap sebagai suatu aspek yang tidak memiliki fungsi dan tidak berguna. Kebiasaan- kebiasaan ini harus segera diatasi untuk mencapai tingkat literasi di atas rata-rata. Dengan tingkat literasi tinggi, Indonesia akan menghasilkan generasi emas yang mumpuni untuk menjalankan keberlangsungan Indonesia yang berkualitas.
Untuk mengatasi kebiasaan buruk ini,
perlu adanya peran dari segala aspek masyarakat. Dalam lingkup utama, keluarga
berperan penting dalam menanamkan minat baca setiap
anggotanya. Orang tua harus bisa mengambil perhatian
anak untuk membiasakan diri dalam membaca
buku. Dengan motivasi
dari orang tua serta dukungan fasilitas yang memadai, seorang anak akan
memiliki ketertarikan dalam membaca.
Lingkup selanjutnya yang berperan dalam pembentukan minat baca adalah
lingkungan sekolah. Motivasi
dari orang tua tidak akan cukup jika tidak dibersamai dengan kegiatan sekolah
dalam memonitori minat baca seorang
siswa. Program sekolah
yang mendukung peningkatan minat baca dapat
menjadi tonggak awal dalam berkurangnya rasa malas saat membaca. Selain
itu, sekolah juga dapat berperan
sebagai pembawa kabar terkait pengembangan potensi, minat, dan bakat siswa
dalam aspek literasi.
Lingkup terakhir yang mampu mengangkat
minat literasi seorang siswa adalah pertemanan. Berteman dengan orang-orang yang memiliki minat baca tinggi akan
membuat kita ikut larut dalam dunia membaca.
Pertemanan yang positif ini tentu akan memberi pengaruh baik sehingga
akan tercipta suasana yang positif pula. Seperti peribahasa, “Berteman dengan penjual
minyak wangi, maka kita akan ikut merasakan wanginya.”
Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, dibutuhkan pemuda
pemudi yang teliti,
kritis, dan adaptif.
Mewujudkan generasi yang semacam itu tentu tidak
mudah jika generasi
saat ini tidak dibiasakan untuk
membaca dan menulis. Maka, mulailah membangun minat literasi diri agar generasi
Indonesia ke depan
akan menjadi generasi
yang positif dan berkualitas.